Jumat, 25 November 2016

Sapatha, Kutukan Mematikan dari Zaman Kerajaan Nusantara


Saat Indonesia masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan seperti Majapahit dan Sriwijaya, hukuman berupa kutukan kerap diberikan kepada pelanggar hukum. Siapa saja yang melakukan tindakan makar kepada kerajaan atau pengkhianatan bisa dikenai hukuman yang konon mematikan itu. Bahkan banyak penduduk takut dengan hukuman ini ketimbang hukuman mengerikan seperti ditusuk keris atau disuruh bertarung dengan harimau.

Hukuman kutuk ada karena masyarakat masih memercayai takhayul. Selain itu, mereka juga percaya kalau ucapan raja atau petinggi sangat sakti sehingga tidak bisa dilawan oleh siapa saja. Berikut ulasan tentang kutuk atau sapatha yang dahulu pernah digunakan oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Kerajaan yang Memberlakukan Hukuman Kutuk

Hukuman berupa kutukan atau sapatha banyak dilakukan oleh kerajaan Hindu/Buddha di Indonesia. Salah satu kerajaan yang menerapkannya adalah Majapahit. Berdasarkan Prasasti Tuhannaru, mereka yang melanggar hukum akan diberi kutukan. Kutukan akan diberikan melalui sebuah upacara yang sakral untuk meminta bantuan Dewa dan makhluk gaib lainnya. Dalam upacara ini, mereka yang bersalah akan menerima kutukan yang salah satunya berbunyi seperti ini: “Dewa, engkau harus membunuh mereka. Jika mereka di ladang, ular berbisa akan mengigitnya. Jika di hutan akan ada harimau yang menerkamnya. Jika di air mereka akan jatuh dan dimakan buaya.”

contoh prasasti

Selain kerajaan Majapahit, Sriwijaya juga diketahui melakukan kutukan kepada mereka yang melanggar hukum. Kutukan dari kerajaan Sriwijaya terpahat dengan sempurna pada Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Baru. Kutukan ini ditujukan kepada pejabat kerajaan agar patuh kepada raja.

Kutukan Sebagai Jalan Mengatur Rakyat

Pada masa pemerintahan kerajaan Hindu dan Buddha, masyarakat masih memegang teguh kepercayaannya. Dari kepercayaan inilah, para petinggi membuat aturan dengan menggunakan dewa sebagai kepatuhan. Kutukan yang diberikan memiliki unsur agama dan kesakralan sehingga mau tidak mau masyarakat akan mematuhinya karena tidak mau mendaratkan petaka.

kutukan
Penguasa pada masa kerajaan Hindu dan Buddha sangat memanfaatkan ketakutan dari rakyatnya. Daripada menggunakan cara kasar seperti membunuh, mereka lebih suka menggunakan kutukan yang efeknya cukup besar. Masyarakat lebih takut kepada dewa daripada kepada pemimpin yang sama-sama manusia meski berbeda kedudukan.

Kutukan Bersanding dengan Kitab Hukum Pidana

Kekuatan hukuman kutukan seperti masih sangat kuat jika dibandingkan dengan hukuman pidana biasa. Hal ini bisa terlihat dari masih digunakannya kutukan oleh Majapahit padahal mereka sudah punya kitab pidana. Untuk kasus-kasus tertentu, hukuman kutukan tetap diberikan di depan umum agar masyarakat tidak melakukan pelanggaran hukum dari yang ringan hingga ke berat.

kitab zaman Majapahit
Seiring dengan lunturnya kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia, hukuman berupa kutukan mulai ditinggalkan. Orang-orang lebih percaya dengan kitab yang telah dibuat daripada kutukan yang belum tentu terjadi dalam waktu dekat.

Ragam Kutuk yang Terdapat dalam Prasasti Kerajaan

Sebagian besar kutukan yang dibuat oleh kerajaan dimuat dalam prasasti yang tersebar di banyak daerah. Dari prasasti ini, arkeolog menerjemahkan jenis-jenis kutukan atau sapatha yang akan diterima oleh pelanggar hukuman. Kutukan pertama berupa kesialan seperti yang telah dikutip di atas. Seseorang yang dikutuk, hidupnya akan sial selamanya.

masyarakat zaman majapahit
Selain kesialan, seseorang yang mendapatkan kutukan juga akan menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Jika dia seorang wanita, bayi yang ada di kandungannya akan terus gugur. Oh ya, hukuman kutukan ini tidak berlaku kepada pelanggar hukum saja. Siapa saja dalam keluarganya akan terkena dampak mengerikan ini.

Inilah sekilas tentang sapatha atau kutukan yang dibuat oleh kerajaan Hindu dan Buddha di masa lalu. Hukuman ini dibuat untuk mengontrol masyarakat secara penuh agar tidak melakukan pemberontakan. Ketakutan masyarakat pada dewa-dewa dimanfaatkan kerajaan dengan baik sehingga tindakan makar atau melanggar hukum bisa dihindari. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar